Dandanggula
1. Songsoggora (payung agung) sebagai lambang keselamatan, bagaikan winidyan (dikaruniai pengetahuan) yang sesuai benar dengan apa yang diidam-idamkan, namun tetap ringa-ringa (ragu-ragu) sewaktu menggubah, karena tidak darbe (memiliki) kemampuan yang tinggi, sehingga terlebih dahulu harus angruruhi (mencari) kerisauan batin, dan jaga (menjaga) angkara murka, seraya mohon luwaring (semoga terbebas dari) kesedihan, agar jangan kongsi (sampai) bingung dalam menyusun jalannya cerita ini, dan demikianlah cerita ini ginupita (digubah)
2. Sesungguhnya buku cerita ini disusun atas kehendak Sri Baginda IX, yang bertahta di kerajaan besar Surakarta. Sri Baginda termasyhur di dunia karena kesaktiannya dan sebagai perujudan utama akan sifat-sifat utama, suci, berhati sabar, sentosa, pemurah serta tulus cintanya kepada rakyat, sehingga besar maupun kecil mereka semua mendoakan kesejahteraan kerajaan Sri Baginda.
3. Sebagai awal dari cerita ini akan diungkapkan sebuah kiasan yang indah yang dapat dijadikan teladan dalam melakukan segala hal, asal saja dicari yang rahayu untuk memperingatkan kekhilafan budi, agar segala sesuatu dapat berlangsung dengan mudah, Yang diungkapkansebagi suri teladan adalah cerita lama, bagian akhir dari Pustaka Rajaweda yakni tentang negara Purwacarita.
4. Negeri itu sangat sejahtera berkat wibawa raja, yang bergelar Sri Mahapunggung, yang kukuh berpegang pada darma dan peraturan serta ahli di bidang ilmu pengetahuan. Semula raja Suwelecala yang menjadi awal cerita, mempunyai enam orang anak laki-laki yang berimbang kesaktiaannya.
5. Yang sulung bernama Raden Jaka Panuhun, ia tertarik pada bidang pertanian. Oleh karena itu ia naik tahta dan memerintah segenap masyarakat tani di daerah Pagelan dan sekitanrnya, disanalah ia membangun sebuah kota sebagai pusat pemerintahan daerah Pagelen dan Kutaarja serta bergelar Sri Manuhun.
6. Anak yang kedua bernama Raden Jaka Sandanggarba, tertarik pada dunia perdagangan. Oleh karena itu layaklah kalau ia sangat tekun berusaha mengumpulkan modal, sehingga akhirnya menjadi raja saudagar, berpusat di Jepara dan bergelar Sri Sadana.
7. Anak yang ketiga bernama Raden Jaka Karungkala, kegemarannya menjelajahi hutan belantara berburu kijang, rusa, banteng, lembu dan memikat burung. Waktu tua menjadi raja di Kirata memimpin para pemburu, para penangkap binatang, para pemelihara ternak dan semua pedagang daging.
8. Dulu kotanya di Prambanan dan bergelar Sri Kala, juga terkenal dengan sebutan Kirataraja. Adiknya yakni Jaka Tunggumetung, kegemarannya mengarungi lautan mencari ikan atau menyadap enau di waktu siang, seraya membuat garam di waktu malam.
9. Oleh karena itulah dahulu ia merajai segenap nelayan, mengumpulkan dan memimpin para penyadap serta menguasai para pembuat garam. Dulu pusatnya di Pagebangan dan bergelar Sri Malaras, anak yang sumendi, yakni kakak si bungsu yang bernama Raden Jaka Petungtantara, karena gemar beroleh puji dan samadi serta mempelajari ilmu kependetaan dan kepujanggaan istana.
10. Jadilah ia raja para maharesi, segenap pendeta dan ajar, itulah yang ia kuasai, seraya menghimpun para penghulu serta brahmana dan mengatur kehidupan beragam di Medangkawit. Oleh karena itu ia bergelar Raja Resi Sri Madewa. Pertapaannya berpusat di Pamagetan, yang terletak di lereng Gunung Lawu, dibangun sebagai sebuah kerajaan yang sejahtera.
11. Adapun yang muda, lahir dari permaisuri bernama Jaka Kanduyu, kegemarannya berorganisasi, menghimpun dan mempersatukan rakyat kecil, sehingga setiap kali ada permusyawaratan selalu seia sekata dengan segenap sanak keluarga. Ia memang mahir membangkitkan semangat dan memikat hati, sehingga mempeperoleh kewibawaan.
12. Ketika ia berkelana memperluasa daerah kekuasaan dengan membawa pasukan, terjadilah peperangan dan ia menang perang mengalahkan Sri Daneswara beserta patihnya yang muksa bersama-sama. Setelah keduanya kalah, tak ada yang tampil lagi seluruh punggawa dari kerajaan itu sepakat untuk menyerah. Tak lama kemudian Raden Jaka Kanduyu menjadi raja di Purwacarita.
13. Berkat pahala Hyang Hutipati, ia dianugerahi kebijaksanaan yang sempurna. Kemudian berganti nama menjadi Sri Mahapunggung, meneruskan gelar raja yang dikalahkannya dalam peperangan, sekaligus untuk merahasiakan kesaktiannya. Upacara penobatannya dihadiri oleh para brahmana, resi, dan raja-raja dari mancanegara.
14. Peristiwa itu terjadi pada masa Srawana, tahun Sadamuka yakni tahun Surya : 1031 atau menurut hitungan tahun Candra : 1061, yakni kurang lebih satu tahun setelah mengangkat saudara-saudaranya memerintah di kerajaan masing-masing, lengkap dengan daerah kekuasaannya.
15. Demikianlah telah berlangsung beberapa waktu lamanya tanpa ada sesuatu halangan, kini tersebutlah di Pegelen Sri Baginda Sri Manuhun, yang sedang merasa masygul. Sebab musabab kesedihannya ialah, berputra du orang, dua-duanya cacat. Seorang cebol dan yang seorang wujil, yang cebol diberi nama Raden Jaka Pratana.
16. Yang wujil diberi nama Raka Jaka Sangara, hal ini membuat ayahnya sangat malu, sehingga siang dan malam ia tiada hentinya bersembahyang, mohon petunjuk dewa yang didambakan ialah semoga dianugerahi anak laki-laki yang tampan, serba bisa mengatasi segala sesuatu agar supaya tidak mencemaskan.
17. Kini terdengarlah petunjuk dalam samadinya “ Hai Sri Baginda, mintalah pertolongan kepada seorang buyut yang bertempat tinggal di Sendangkulon, engkau pasti akan memperoleh sarana sehingga bisa mendapat anak laki-laki yang tampas dan pantas, segeralah engkau ikhtiar dan jangan membawa pengiring.
18. Sri Baginda keluar dari tempat samadinya, pergi tanpa pengiring dengan cara menyamar. Syahdan bergantilah yang diceritakan, Kyai Buyut yang bertempat tinggal di Sendangkulon bernama Buyut Samalangu, putra Buyut Salinga cucu seorang biku sakti yang bernama Resi Samahita.
19. Buyut Samalangu itu beristri jin, mempunyai anak laki-laki dan perempuan. Yang tua perempuan bernama Rara Srini, adiknya bernama Jaka Sarana, tampan. Karena pengaruh tapa, kedua anaknya tidak serupa dengan anak kelahiran desa akan tetapi seperti putra raja.
20. Keduanya selalu menjadi hiasan berita di desa-desa dan dukuh-dukuh sekitar Sendangkulon, Orang membayangkan perasaannya betapa bahagianya andaikata terbalas cintanya. Akan tetapi tidak terpenuhi karena takut kepada Ki Buyut, yang bertabiat lemah lembut serta selalu berprihatin dalam sembahnya untuk menjaga keselamatan keluarga.
21. Tersebutlah Ki Buyut yang tengah memohon sepenuh hati, bertafakur dalam sanggarnya. Hatinya terpusat kepada anak, semoga mendapat anugerah kemurahan dewata, terpilih oleh raja. Permohonannya terkabul bersamaan dengan turunnya wahyu diwaktu tengah malam.
22. Turunlah istrinya, jin yang bernama Diah ratna Sriwulan, ia datang dengan tiba-tiba dan Ki Buyut segera bersiap di tempat yang sepi. Setelah ditanya maksud kedatangannya, istrinya lalu memberi petunjuk dengan jelas, suaminya diminta supaya membenahi rumah karena akan ada tamu.
23. Bukan tamu sembarang tamu dari golongan rakyat biasa, namun seorang raja yang menguasai sebuah kerajaan yang berpust di Pagelen bergelar Sri Manuhun. Kedatangannya karena menaati petunjuk. Ia sedang masygul karena kedua anaknya menderita cacat. Ia memperoleh petunjuk supaya menemuimu hendak minta isyarat.
24. Kelak pasti mempunyai putra yang tampan, petunjuk itu benar-benar dilaksanakan, ia datang seorang dari tanpa pengiring. Karena memang sudah kehendak dewata, dan sudah takdir Rara Srini menjadi perantara, ia dipersitri oleh raja, untuk menurunkan keturunan yang mulia, sekaligus menarik saudara sekandung ikut merasakan kebahagiaan.
25. Mendengar hal itu Kyai Buyut gembira di hati, lalu ia bertanya “ Wahai adinda, bagimana caranya agar hal itu bisa terlaksana secara meyakinkan sesuai dengan kehendaknya, terbuka secara serasi “ Ratna Sriwulan menjawab “ jangan kuarti ! sayalah yang akan mengatur dengan menggunakan siasat.
26. Atau sarana sebagai tabir, anda menggunakan cara terbuka pasti nanati ada tanda-tandanya yang bercirikan tulisan. Jelaskan apa adanya, jika sudah ada buktinya, disitulah saatnya menerka-nerka isyarat, yang cocok dengan petunjuk yang harus ditafsirkan, lalu tinggallah puji dan doa.
27. Sesudah selesai memberi penjelasan, sang dewi lalu pamit kepada suami, dalam sekejap mata mata ia telah lenyap, gain tertutup suasana. Tersebutlah Kyai Buyut, ketika hari menjelang pagi ia memberi tahu anaknya supaya memperpatut tata rumah, yang disuruh mengiakan keduanya mulai bersiap-siap.
28. Patanenya dibersihkan semua diberi bunga yang harum, lantainya dihampiri tikar berderet-deret, minuman diatur diatas para-para dengan sesajian lengkap dan penuh, tak ada yang mengecewakan. Ki Buyut diberi tahu oleh anaknya, bahwa segala persiapan di dalam rumah sudah selesai, ia merasa gembira lalu gembira.
29. Untuk menyongsong kedatangan raja, tak lama kemudian bertemu di pagar rumah, kedua-duanya merasa gembira. Ki Buyut Samalangu gopoh-gopoh mempersilakan dan raja, setibanya di dukuh menanggapi dengan seneng, lalu masuk ke rumah. Sri Baginda dipersilakan duduk di petanen yang sudah diatur, dengan senang hati ia duduk tanpa ragu-ragu.
30. Kyai Buyut duduk menunduk di hadapannya bersama kedua orang anaknya, beberapa saat kemudian Ki Buyut mengucapkan sambutan selamat datang “ Atas kedatangan Sri Baginda, hamba merasa sangat beruntung bagaikan kedatangan dewata, yang menganugerahi kemuliaan tanpa bandingan melingkupi segala-galanya.
31. Sampai pohon-pohon dan daun-daun semuanya senyap, semuanya bertmabha indah dan semakin subur karena terlindung oleh kewibawaan manikam kerajaan yang luhur, hamba bagaikan mimpi, apakah gerangan yang paduka kehendaki sehingga datang menyamar seorang diri tanpa pengiring, pagi-pagi bener tersesat dan berkenan mengunjungi pondok hamba.
32. Tiada lain hamba mohon aksama, siap menerima kemurkaan paduka, jika sekitarnya kurang tata krama. Karena hamba hanyalah pacal dukun, yang tak mungkin tahu akan sopan santun. “ Sri Baginda menjawab “ Sudahlah, jangan berkata demikian. Memang sengaja saya sampai di sini, sebabnya ialah karena taat kepada petunjuk, Sri Baginda lalu menjelaskan duduk persoalannya.
33. Sejak awal hingga akhirnya bertemu, kemudian ujarnya meminta “ Sesungguhnya aku mengharapkan pertolonganmu, terserah bagimana petunjukmu, aku menurut “ Mendengar penuturan Sri Baginda, Kyai Buyut benar-benar takjub, lalu berdatang sembah, “ Duhai junjungan hamba, sungguh tak terbayangkan keajaiban kehendak dewa itu, namun apa kemampuan hamba.
34. Orang desa lagi hanya petani jelata, paling-paling hanya mengolah tanaman menanam biji-bijian seadanya, seperti jepen, jali, jawawut, bijen, cantel, jatil, kedali sebagai mata pencarian untuk selama-lamanya. Mustahil untuk menduga-duga masalah kesaktian yang benar-benar tidak mungkin melaksanakannya, oleh karena itu hamba berserah diri.
35. Ke bawah kaki paduka, menghaturkan hidup dan mati hanya karena merasa bertanggung jawab, namun hati ini ternyata buntuk. Mengapa dunia jadi terbalik, junjungan minta sarana kepada rakyatnya, tentu tidak akan terjadi, lautan mengalir ke kubangan air, demikianlah jika diumpamakan dengan air.
36. Tidak sesuatu dengan kodrat dunia, dan keajaiban itu seribu langka. Sungguh hamba tidak dapat memikirkan kehendak Sri Baginda yang demikian, yang terjadi sejak jaman dahulu kala bagi seorang raja, jika ada rakyatnya yang kekurangan sandang pangan maupun kegelapan budi, rajalah yang mengatasinya.
37. Raja Pagelen berkata lembut, “Hai, paman. Meskipun demikian, namun aku ini menaati petunjuk dewata, yang tidak akan ingkar meski kita mengingkarinya. Dewata selalu mengetahui segala gerak-gerik umatnya. Aku tetap mendesak dan berusaha sampai berhasil. Meskipun hanya sekedar kata-kata tanpa dasar yang aku peroleh, biarlah. Akan kuterima juga.
38. Asalkan engkau yang menjadi lantaran memberi sarana, saya akan merasa puas. “Ki Buyut berdatang sembah dengan suara lemut, “Wahai, Sri Baginda. Jika demikian kehendak paduka, hamba tidak akan ingkar lagi, karena terdesak oleh kebutuhan dan karena ingin mengamini, hamba hendak menunjukkan jalan menurut cara orang orang kecil berdasarkan ilmu orang dusun.
39. Mudah-mudahan dapat memenuhi harapan, sesuai dengan petunjuk, yang gamblang dan terang. “Sri Baginda berkata lagi, “Nah paman! Jangan ragu-ragu. Laksanakanlah segera ilmumu seadanya. “Ki Buyut segera mempersiapkan tujuh lembar daun tal kuning ditaruh di dalam kotak kecil tertutup.
40. Sesudah diletakkan di hadapan Sri Baginda, sekarang silahkan paduka mengambil sastra wedar tanpa aksara. Pilihlah satu yang paduka kehendaki. “Sri Baginda heran sekali melihatnya karena caranya yang sangat ajaib dalam melakukan usaha mendapatkan petunjuk.
41. Beberapa saat kemudian Sri Baginda mengambil sastra wedar. Ketika diteliti tampak ada tulisannya, kemudian dibaca, dan berbunyi: “Hai, Sri Baginda! Sudilah engkau mengambil srini sebagai sarana, yang akan merupakan pagar kesalamatan. “Sri Baginda terdiam. Ia belum dapat menagkap sasmita atau petunjuk yang tertulis itu. Relug kalbunya masih ruwet.
42. Akhirnya Sri Baginda berkata, “paman Buyit. Coba jelaskan makna kalimat ini. Apa gerangan maksudnya. Aku belum dapat menagkap artinya. “Kyai Buyut tersenyum berdatang sembah, “Hamba mohon maaf. Seyogyanya paduka mengambil lagi. Siapa tahu, petunjuk tulisannya berlainan. “Sri Baginda tidak menolak.
43. Kemudian mengambil lagi selembar daun tal, lalu selembar lagi, hingga tiga kali. Semua tiada bedanya. Aksara dan kalimatnya sama, seperti yang sudah-sudah. Hati Sri Manuhun masih tetap bingung, akan tetapi kebingungannya tidak diperlihatkan. Sambil memikirkan pemecahannya, barang kali menemukan jawaban, Sri Baginda berpura-pura.
44. Mendekati Ki Buyut, lalu berkata lembut, “Paman, saya tertarik kepada kedua anak yang menghadap itu. Tingkah lakunya terampil. Yang laki-laki maupun yang perempuan serba luwes dan sangat pantas rupanya. Menilik ujudnya, mungkin kakak adik. Apakah itu anak-anakmu ?”
45. Kyai Buyut menjawab dengan sebenarnya demikian “ Duhai Sri Baginda, benar ia anak hamba kelahiran Sendangkulon sudah lama berpisah dengan ibunya sehingga selalu menjadi buah hati. Karena hanya merekalah milik hamba, rasa-rasanya keduanya tidak dapat berpisah dengan ayahnya, oleh karena itu siang dan malam keduanya tetap berada diasrama.
46. Sri Baginda tersenyum seray berkata lembut “ Sudah sepantasnya orang mempunyai anak, tentu begitu itu anggapannya, menurut kata peribahasa, umpama kereweng kencana. Dasar kedua anakmu itu memang baik-baik, sudah sepantasnya bagaikan nyawa, sepintas lalu seperti kembar, mana yang lebih tua dan siapa namanya.
47. Ki Buyut menjawab “ Yang tua namanya Srini, sedangkan yang muda bernama Sarana “ Sri Baginda berkat menanggapi, kalau begitu yang tua pantas memelihara isi istana, sedangkan yang muda memelihara kerajaan “ Mendengar ucapan Sri Baginda, Ki Buyut menyembah, beberapa hari kemudian Sri Baginda pulang, diiringikan oleh Ki Buyut sekeluarga.
48. Setibanya di istana Sri Baginda memanggil pimpinan para menteri, yang merupakan orang kepercayaan dalam pemerintahan yakni Arya Pratala dan Arya Banawa, keduanya adalah ipar Sri Baginda, diceritakan Arya Pratala itu, adiknya yang bernama Ken Pratiwi menjadi selir Sri Baginda.
49. Dialah yang mempunyai anak laki-laki cebol, yang diberi nama Raden Jaka Pratana, sedangkan Arya Banawa kakak perempuan yang bernama Rara Jahnawi, yang menjadi sesepuh para selir Sri Baginda, berputra laki-laki wujil, yang diberi nama Raden Jaka Sangara yang sudah diceritakan diatas.
50. Pimpinan para menteri itu telah datang menghadap Sri Baginda, mereka diberi tahu tentang segala peristiwa yang telah terjadi. Semua merasa heran, sekarang atas kehendak Sri Baginda, Rara Srini diangkat menjadi permaisuri raja, sedangkan kedua selir menjadi istri yang diberi kekeuasaan untuk mengatur segala pekerjaan di dalam istana.
51. Kyai Buyut diberi kedudukan sebagai sesepuh dan sebagai pendeta istana, yang diberi kekuasaan untuk memberikan pengajaran ke arah budi pekerti yang baik. Sarana diangkat jadi perdana menteri yang memegang kendali pemerintahan. Kedua Arya dimasyhurkan sebagai yang memegang kekuasaan untuk mengatur segala macam pekerjaan serta pemegang hukum kerajaan.
52. Adik dari Ki Buyut yang bernama Umbul Samawana telah lama tiada dan meninggalkan anak laki-laki bernama Jaka Gede, sekarang ditugasi menggantikan pakuwannya bergelar Buyut Agung berkedudukan di Sendangkulon, diangkat oleh Sri Baginda, dengan demikian sejahteralah dukuh Sendangkulon karena penguasanya mahir membina kewibawaan.
53. Rara Srini tidak lama kemudian hamil, setelah cukup waktunya lahirlah anak laki-laki, tampan dan mungil sehingga benar-benar seperti Sanghyang Asmara, menggembirakan hati Sri Baginda, putranya disambut dan dilihat keadaannya benar-benar pantas dan tampan, diberi nama Raden Jaka Pramana.
54. Rajaputra mendapat berkat dewata sehingga cepat menjadi besar, diberi emban bernama Ni Wilasita, waktu berjalan tersu, putra Baginda hampir menjelang akil balig. Semakin jelaslah rupanya akan menguasai initi insan yang terpuji, serba suci serta mahir akan kaidah-kaidah hubungan yang tersamar, sehingga pantas menjadi seorang raja.
Karya : Pakoe Buwono IX
1. Songsoggora (payung agung) sebagai lambang keselamatan, bagaikan winidyan (dikaruniai pengetahuan) yang sesuai benar dengan apa yang diidam-idamkan, namun tetap ringa-ringa (ragu-ragu) sewaktu menggubah, karena tidak darbe (memiliki) kemampuan yang tinggi, sehingga terlebih dahulu harus angruruhi (mencari) kerisauan batin, dan jaga (menjaga) angkara murka, seraya mohon luwaring (semoga terbebas dari) kesedihan, agar jangan kongsi (sampai) bingung dalam menyusun jalannya cerita ini, dan demikianlah cerita ini ginupita (digubah)
2. Sesungguhnya buku cerita ini disusun atas kehendak Sri Baginda IX, yang bertahta di kerajaan besar Surakarta. Sri Baginda termasyhur di dunia karena kesaktiannya dan sebagai perujudan utama akan sifat-sifat utama, suci, berhati sabar, sentosa, pemurah serta tulus cintanya kepada rakyat, sehingga besar maupun kecil mereka semua mendoakan kesejahteraan kerajaan Sri Baginda.
3. Sebagai awal dari cerita ini akan diungkapkan sebuah kiasan yang indah yang dapat dijadikan teladan dalam melakukan segala hal, asal saja dicari yang rahayu untuk memperingatkan kekhilafan budi, agar segala sesuatu dapat berlangsung dengan mudah, Yang diungkapkansebagi suri teladan adalah cerita lama, bagian akhir dari Pustaka Rajaweda yakni tentang negara Purwacarita.
4. Negeri itu sangat sejahtera berkat wibawa raja, yang bergelar Sri Mahapunggung, yang kukuh berpegang pada darma dan peraturan serta ahli di bidang ilmu pengetahuan. Semula raja Suwelecala yang menjadi awal cerita, mempunyai enam orang anak laki-laki yang berimbang kesaktiaannya.
5. Yang sulung bernama Raden Jaka Panuhun, ia tertarik pada bidang pertanian. Oleh karena itu ia naik tahta dan memerintah segenap masyarakat tani di daerah Pagelan dan sekitanrnya, disanalah ia membangun sebuah kota sebagai pusat pemerintahan daerah Pagelen dan Kutaarja serta bergelar Sri Manuhun.
6. Anak yang kedua bernama Raden Jaka Sandanggarba, tertarik pada dunia perdagangan. Oleh karena itu layaklah kalau ia sangat tekun berusaha mengumpulkan modal, sehingga akhirnya menjadi raja saudagar, berpusat di Jepara dan bergelar Sri Sadana.
7. Anak yang ketiga bernama Raden Jaka Karungkala, kegemarannya menjelajahi hutan belantara berburu kijang, rusa, banteng, lembu dan memikat burung. Waktu tua menjadi raja di Kirata memimpin para pemburu, para penangkap binatang, para pemelihara ternak dan semua pedagang daging.
8. Dulu kotanya di Prambanan dan bergelar Sri Kala, juga terkenal dengan sebutan Kirataraja. Adiknya yakni Jaka Tunggumetung, kegemarannya mengarungi lautan mencari ikan atau menyadap enau di waktu siang, seraya membuat garam di waktu malam.
9. Oleh karena itulah dahulu ia merajai segenap nelayan, mengumpulkan dan memimpin para penyadap serta menguasai para pembuat garam. Dulu pusatnya di Pagebangan dan bergelar Sri Malaras, anak yang sumendi, yakni kakak si bungsu yang bernama Raden Jaka Petungtantara, karena gemar beroleh puji dan samadi serta mempelajari ilmu kependetaan dan kepujanggaan istana.
10. Jadilah ia raja para maharesi, segenap pendeta dan ajar, itulah yang ia kuasai, seraya menghimpun para penghulu serta brahmana dan mengatur kehidupan beragam di Medangkawit. Oleh karena itu ia bergelar Raja Resi Sri Madewa. Pertapaannya berpusat di Pamagetan, yang terletak di lereng Gunung Lawu, dibangun sebagai sebuah kerajaan yang sejahtera.
11. Adapun yang muda, lahir dari permaisuri bernama Jaka Kanduyu, kegemarannya berorganisasi, menghimpun dan mempersatukan rakyat kecil, sehingga setiap kali ada permusyawaratan selalu seia sekata dengan segenap sanak keluarga. Ia memang mahir membangkitkan semangat dan memikat hati, sehingga mempeperoleh kewibawaan.
12. Ketika ia berkelana memperluasa daerah kekuasaan dengan membawa pasukan, terjadilah peperangan dan ia menang perang mengalahkan Sri Daneswara beserta patihnya yang muksa bersama-sama. Setelah keduanya kalah, tak ada yang tampil lagi seluruh punggawa dari kerajaan itu sepakat untuk menyerah. Tak lama kemudian Raden Jaka Kanduyu menjadi raja di Purwacarita.
13. Berkat pahala Hyang Hutipati, ia dianugerahi kebijaksanaan yang sempurna. Kemudian berganti nama menjadi Sri Mahapunggung, meneruskan gelar raja yang dikalahkannya dalam peperangan, sekaligus untuk merahasiakan kesaktiannya. Upacara penobatannya dihadiri oleh para brahmana, resi, dan raja-raja dari mancanegara.
14. Peristiwa itu terjadi pada masa Srawana, tahun Sadamuka yakni tahun Surya : 1031 atau menurut hitungan tahun Candra : 1061, yakni kurang lebih satu tahun setelah mengangkat saudara-saudaranya memerintah di kerajaan masing-masing, lengkap dengan daerah kekuasaannya.
15. Demikianlah telah berlangsung beberapa waktu lamanya tanpa ada sesuatu halangan, kini tersebutlah di Pegelen Sri Baginda Sri Manuhun, yang sedang merasa masygul. Sebab musabab kesedihannya ialah, berputra du orang, dua-duanya cacat. Seorang cebol dan yang seorang wujil, yang cebol diberi nama Raden Jaka Pratana.
16. Yang wujil diberi nama Raka Jaka Sangara, hal ini membuat ayahnya sangat malu, sehingga siang dan malam ia tiada hentinya bersembahyang, mohon petunjuk dewa yang didambakan ialah semoga dianugerahi anak laki-laki yang tampan, serba bisa mengatasi segala sesuatu agar supaya tidak mencemaskan.
17. Kini terdengarlah petunjuk dalam samadinya “ Hai Sri Baginda, mintalah pertolongan kepada seorang buyut yang bertempat tinggal di Sendangkulon, engkau pasti akan memperoleh sarana sehingga bisa mendapat anak laki-laki yang tampas dan pantas, segeralah engkau ikhtiar dan jangan membawa pengiring.
18. Sri Baginda keluar dari tempat samadinya, pergi tanpa pengiring dengan cara menyamar. Syahdan bergantilah yang diceritakan, Kyai Buyut yang bertempat tinggal di Sendangkulon bernama Buyut Samalangu, putra Buyut Salinga cucu seorang biku sakti yang bernama Resi Samahita.
19. Buyut Samalangu itu beristri jin, mempunyai anak laki-laki dan perempuan. Yang tua perempuan bernama Rara Srini, adiknya bernama Jaka Sarana, tampan. Karena pengaruh tapa, kedua anaknya tidak serupa dengan anak kelahiran desa akan tetapi seperti putra raja.
20. Keduanya selalu menjadi hiasan berita di desa-desa dan dukuh-dukuh sekitar Sendangkulon, Orang membayangkan perasaannya betapa bahagianya andaikata terbalas cintanya. Akan tetapi tidak terpenuhi karena takut kepada Ki Buyut, yang bertabiat lemah lembut serta selalu berprihatin dalam sembahnya untuk menjaga keselamatan keluarga.
21. Tersebutlah Ki Buyut yang tengah memohon sepenuh hati, bertafakur dalam sanggarnya. Hatinya terpusat kepada anak, semoga mendapat anugerah kemurahan dewata, terpilih oleh raja. Permohonannya terkabul bersamaan dengan turunnya wahyu diwaktu tengah malam.
22. Turunlah istrinya, jin yang bernama Diah ratna Sriwulan, ia datang dengan tiba-tiba dan Ki Buyut segera bersiap di tempat yang sepi. Setelah ditanya maksud kedatangannya, istrinya lalu memberi petunjuk dengan jelas, suaminya diminta supaya membenahi rumah karena akan ada tamu.
23. Bukan tamu sembarang tamu dari golongan rakyat biasa, namun seorang raja yang menguasai sebuah kerajaan yang berpust di Pagelen bergelar Sri Manuhun. Kedatangannya karena menaati petunjuk. Ia sedang masygul karena kedua anaknya menderita cacat. Ia memperoleh petunjuk supaya menemuimu hendak minta isyarat.
24. Kelak pasti mempunyai putra yang tampan, petunjuk itu benar-benar dilaksanakan, ia datang seorang dari tanpa pengiring. Karena memang sudah kehendak dewata, dan sudah takdir Rara Srini menjadi perantara, ia dipersitri oleh raja, untuk menurunkan keturunan yang mulia, sekaligus menarik saudara sekandung ikut merasakan kebahagiaan.
25. Mendengar hal itu Kyai Buyut gembira di hati, lalu ia bertanya “ Wahai adinda, bagimana caranya agar hal itu bisa terlaksana secara meyakinkan sesuai dengan kehendaknya, terbuka secara serasi “ Ratna Sriwulan menjawab “ jangan kuarti ! sayalah yang akan mengatur dengan menggunakan siasat.
26. Atau sarana sebagai tabir, anda menggunakan cara terbuka pasti nanati ada tanda-tandanya yang bercirikan tulisan. Jelaskan apa adanya, jika sudah ada buktinya, disitulah saatnya menerka-nerka isyarat, yang cocok dengan petunjuk yang harus ditafsirkan, lalu tinggallah puji dan doa.
27. Sesudah selesai memberi penjelasan, sang dewi lalu pamit kepada suami, dalam sekejap mata mata ia telah lenyap, gain tertutup suasana. Tersebutlah Kyai Buyut, ketika hari menjelang pagi ia memberi tahu anaknya supaya memperpatut tata rumah, yang disuruh mengiakan keduanya mulai bersiap-siap.
28. Patanenya dibersihkan semua diberi bunga yang harum, lantainya dihampiri tikar berderet-deret, minuman diatur diatas para-para dengan sesajian lengkap dan penuh, tak ada yang mengecewakan. Ki Buyut diberi tahu oleh anaknya, bahwa segala persiapan di dalam rumah sudah selesai, ia merasa gembira lalu gembira.
29. Untuk menyongsong kedatangan raja, tak lama kemudian bertemu di pagar rumah, kedua-duanya merasa gembira. Ki Buyut Samalangu gopoh-gopoh mempersilakan dan raja, setibanya di dukuh menanggapi dengan seneng, lalu masuk ke rumah. Sri Baginda dipersilakan duduk di petanen yang sudah diatur, dengan senang hati ia duduk tanpa ragu-ragu.
30. Kyai Buyut duduk menunduk di hadapannya bersama kedua orang anaknya, beberapa saat kemudian Ki Buyut mengucapkan sambutan selamat datang “ Atas kedatangan Sri Baginda, hamba merasa sangat beruntung bagaikan kedatangan dewata, yang menganugerahi kemuliaan tanpa bandingan melingkupi segala-galanya.
31. Sampai pohon-pohon dan daun-daun semuanya senyap, semuanya bertmabha indah dan semakin subur karena terlindung oleh kewibawaan manikam kerajaan yang luhur, hamba bagaikan mimpi, apakah gerangan yang paduka kehendaki sehingga datang menyamar seorang diri tanpa pengiring, pagi-pagi bener tersesat dan berkenan mengunjungi pondok hamba.
32. Tiada lain hamba mohon aksama, siap menerima kemurkaan paduka, jika sekitarnya kurang tata krama. Karena hamba hanyalah pacal dukun, yang tak mungkin tahu akan sopan santun. “ Sri Baginda menjawab “ Sudahlah, jangan berkata demikian. Memang sengaja saya sampai di sini, sebabnya ialah karena taat kepada petunjuk, Sri Baginda lalu menjelaskan duduk persoalannya.
33. Sejak awal hingga akhirnya bertemu, kemudian ujarnya meminta “ Sesungguhnya aku mengharapkan pertolonganmu, terserah bagimana petunjukmu, aku menurut “ Mendengar penuturan Sri Baginda, Kyai Buyut benar-benar takjub, lalu berdatang sembah, “ Duhai junjungan hamba, sungguh tak terbayangkan keajaiban kehendak dewa itu, namun apa kemampuan hamba.
34. Orang desa lagi hanya petani jelata, paling-paling hanya mengolah tanaman menanam biji-bijian seadanya, seperti jepen, jali, jawawut, bijen, cantel, jatil, kedali sebagai mata pencarian untuk selama-lamanya. Mustahil untuk menduga-duga masalah kesaktian yang benar-benar tidak mungkin melaksanakannya, oleh karena itu hamba berserah diri.
35. Ke bawah kaki paduka, menghaturkan hidup dan mati hanya karena merasa bertanggung jawab, namun hati ini ternyata buntuk. Mengapa dunia jadi terbalik, junjungan minta sarana kepada rakyatnya, tentu tidak akan terjadi, lautan mengalir ke kubangan air, demikianlah jika diumpamakan dengan air.
36. Tidak sesuatu dengan kodrat dunia, dan keajaiban itu seribu langka. Sungguh hamba tidak dapat memikirkan kehendak Sri Baginda yang demikian, yang terjadi sejak jaman dahulu kala bagi seorang raja, jika ada rakyatnya yang kekurangan sandang pangan maupun kegelapan budi, rajalah yang mengatasinya.
37. Raja Pagelen berkata lembut, “Hai, paman. Meskipun demikian, namun aku ini menaati petunjuk dewata, yang tidak akan ingkar meski kita mengingkarinya. Dewata selalu mengetahui segala gerak-gerik umatnya. Aku tetap mendesak dan berusaha sampai berhasil. Meskipun hanya sekedar kata-kata tanpa dasar yang aku peroleh, biarlah. Akan kuterima juga.
38. Asalkan engkau yang menjadi lantaran memberi sarana, saya akan merasa puas. “Ki Buyut berdatang sembah dengan suara lemut, “Wahai, Sri Baginda. Jika demikian kehendak paduka, hamba tidak akan ingkar lagi, karena terdesak oleh kebutuhan dan karena ingin mengamini, hamba hendak menunjukkan jalan menurut cara orang orang kecil berdasarkan ilmu orang dusun.
39. Mudah-mudahan dapat memenuhi harapan, sesuai dengan petunjuk, yang gamblang dan terang. “Sri Baginda berkata lagi, “Nah paman! Jangan ragu-ragu. Laksanakanlah segera ilmumu seadanya. “Ki Buyut segera mempersiapkan tujuh lembar daun tal kuning ditaruh di dalam kotak kecil tertutup.
40. Sesudah diletakkan di hadapan Sri Baginda, sekarang silahkan paduka mengambil sastra wedar tanpa aksara. Pilihlah satu yang paduka kehendaki. “Sri Baginda heran sekali melihatnya karena caranya yang sangat ajaib dalam melakukan usaha mendapatkan petunjuk.
41. Beberapa saat kemudian Sri Baginda mengambil sastra wedar. Ketika diteliti tampak ada tulisannya, kemudian dibaca, dan berbunyi: “Hai, Sri Baginda! Sudilah engkau mengambil srini sebagai sarana, yang akan merupakan pagar kesalamatan. “Sri Baginda terdiam. Ia belum dapat menagkap sasmita atau petunjuk yang tertulis itu. Relug kalbunya masih ruwet.
42. Akhirnya Sri Baginda berkata, “paman Buyit. Coba jelaskan makna kalimat ini. Apa gerangan maksudnya. Aku belum dapat menagkap artinya. “Kyai Buyut tersenyum berdatang sembah, “Hamba mohon maaf. Seyogyanya paduka mengambil lagi. Siapa tahu, petunjuk tulisannya berlainan. “Sri Baginda tidak menolak.
43. Kemudian mengambil lagi selembar daun tal, lalu selembar lagi, hingga tiga kali. Semua tiada bedanya. Aksara dan kalimatnya sama, seperti yang sudah-sudah. Hati Sri Manuhun masih tetap bingung, akan tetapi kebingungannya tidak diperlihatkan. Sambil memikirkan pemecahannya, barang kali menemukan jawaban, Sri Baginda berpura-pura.
44. Mendekati Ki Buyut, lalu berkata lembut, “Paman, saya tertarik kepada kedua anak yang menghadap itu. Tingkah lakunya terampil. Yang laki-laki maupun yang perempuan serba luwes dan sangat pantas rupanya. Menilik ujudnya, mungkin kakak adik. Apakah itu anak-anakmu ?”
45. Kyai Buyut menjawab dengan sebenarnya demikian “ Duhai Sri Baginda, benar ia anak hamba kelahiran Sendangkulon sudah lama berpisah dengan ibunya sehingga selalu menjadi buah hati. Karena hanya merekalah milik hamba, rasa-rasanya keduanya tidak dapat berpisah dengan ayahnya, oleh karena itu siang dan malam keduanya tetap berada diasrama.
46. Sri Baginda tersenyum seray berkata lembut “ Sudah sepantasnya orang mempunyai anak, tentu begitu itu anggapannya, menurut kata peribahasa, umpama kereweng kencana. Dasar kedua anakmu itu memang baik-baik, sudah sepantasnya bagaikan nyawa, sepintas lalu seperti kembar, mana yang lebih tua dan siapa namanya.
47. Ki Buyut menjawab “ Yang tua namanya Srini, sedangkan yang muda bernama Sarana “ Sri Baginda berkat menanggapi, kalau begitu yang tua pantas memelihara isi istana, sedangkan yang muda memelihara kerajaan “ Mendengar ucapan Sri Baginda, Ki Buyut menyembah, beberapa hari kemudian Sri Baginda pulang, diiringikan oleh Ki Buyut sekeluarga.
48. Setibanya di istana Sri Baginda memanggil pimpinan para menteri, yang merupakan orang kepercayaan dalam pemerintahan yakni Arya Pratala dan Arya Banawa, keduanya adalah ipar Sri Baginda, diceritakan Arya Pratala itu, adiknya yang bernama Ken Pratiwi menjadi selir Sri Baginda.
49. Dialah yang mempunyai anak laki-laki cebol, yang diberi nama Raden Jaka Pratana, sedangkan Arya Banawa kakak perempuan yang bernama Rara Jahnawi, yang menjadi sesepuh para selir Sri Baginda, berputra laki-laki wujil, yang diberi nama Raden Jaka Sangara yang sudah diceritakan diatas.
50. Pimpinan para menteri itu telah datang menghadap Sri Baginda, mereka diberi tahu tentang segala peristiwa yang telah terjadi. Semua merasa heran, sekarang atas kehendak Sri Baginda, Rara Srini diangkat menjadi permaisuri raja, sedangkan kedua selir menjadi istri yang diberi kekeuasaan untuk mengatur segala pekerjaan di dalam istana.
51. Kyai Buyut diberi kedudukan sebagai sesepuh dan sebagai pendeta istana, yang diberi kekuasaan untuk memberikan pengajaran ke arah budi pekerti yang baik. Sarana diangkat jadi perdana menteri yang memegang kendali pemerintahan. Kedua Arya dimasyhurkan sebagai yang memegang kekuasaan untuk mengatur segala macam pekerjaan serta pemegang hukum kerajaan.
52. Adik dari Ki Buyut yang bernama Umbul Samawana telah lama tiada dan meninggalkan anak laki-laki bernama Jaka Gede, sekarang ditugasi menggantikan pakuwannya bergelar Buyut Agung berkedudukan di Sendangkulon, diangkat oleh Sri Baginda, dengan demikian sejahteralah dukuh Sendangkulon karena penguasanya mahir membina kewibawaan.
53. Rara Srini tidak lama kemudian hamil, setelah cukup waktunya lahirlah anak laki-laki, tampan dan mungil sehingga benar-benar seperti Sanghyang Asmara, menggembirakan hati Sri Baginda, putranya disambut dan dilihat keadaannya benar-benar pantas dan tampan, diberi nama Raden Jaka Pramana.
54. Rajaputra mendapat berkat dewata sehingga cepat menjadi besar, diberi emban bernama Ni Wilasita, waktu berjalan tersu, putra Baginda hampir menjelang akil balig. Semakin jelaslah rupanya akan menguasai initi insan yang terpuji, serba suci serta mahir akan kaidah-kaidah hubungan yang tersamar, sehingga pantas menjadi seorang raja.
Karya : Pakoe Buwono IX
Tidak ada komentar:
Posting Komentar